Makassar – Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia Indonesia (LHI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas lambannya penanganan perkara penganiayaan berat yang terjadi di Pakumanu, Desa Balambano, Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur.
Arham MSi La Palellung, Ketua Umum LHI, mengungkapkan bahwa berkas perkara penganiayaan atas korban berinisial RO yang sebelumnya telah dilimpahkan oleh Penyidik Polres Luwu Timur ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Luwu Timur, kini dikembalikan untuk dilengkapi.
“Kami mendapat laporan dari tim kami di Luwu Timur bahwa berkas tahap satu yang telah dilimpahkan ke JPU, dikembalikan lagi kepada penyidik Polres Luwu Timur. JPU menyampaikan bahwa terdapat kekurangan dalam kelengkapan materiil berkas tersebut,” ungkap La Palellung di Makassar, Senin (28/4).
Menurut keterangan yang diperoleh tim LHI Lutim dari JPU, pengembalian berkas ini dilakukan setelah melalui proses penelitian, di mana ditemukan bahwa bukti materiil dalam perkara tersebut masih perlu dilengkapi oleh penyidik.
Menyikapi hal ini, LHI menilai bahwa proses hukum berjalan sangat lambat, mengingat tersangka dalam perkara ini sudah ditetapkan, namun hingga kini belum dilakukan penahanan. Padahal, menurut LHI, dalam kasus kekerasan berat yang menyebabkan korban mengalami luka serius, terdapat cukup alasan obyektif dan subyektif untuk melakukan penahanan terhadap tersangka.
“Keterangan korban, saksi-saksi, visum et repertum, dan barang bukti lainnya seharusnya sudah cukup kuat untuk mempercepat proses hukum. Jangan sampai alasan administratif ini justru memperlambat atau bahkan mengaburkan jalannya keadilan,” tegas La Palellung.
Dalam pernyataannya, LHI mendesak beberapa langkah konkret:
1. Penyidik Polres Luwu Timur segera melengkapi kekurangan berkas sesuai petunjuk JPU (P19) dan secepatnya menyerahkan kembali berkas untuk dinyatakan lengkap (P21).
2. Melakukan penahanan terhadap tersangka guna menjamin kelancaran proses hukum dan memenuhi rasa keadilan korban.
3. Menjalankan proses penyidikan dan penuntutan secara profesional, imparsial, dan tidak diskriminatif.
4. Memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) secara berkala kepada korban, sebagaimana diatur dalam KUHAP.
LHI juga mengingatkan bahwa keterlambatan dalam penyelesaian perkara seperti ini dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
“Keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang ditolak. Kami berharap kepolisian dan kejaksaan menunjukkan komitmennya untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan,” tutup La Palellung. (Red)