MATA PUBLIK – Dalam proses demokrasi, pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program yang ditawarkan para calon kepada masyarakat. Sayangnya, praktik bagi-bagi sembakooleh calon atau bakal calon kepala daerah masih sering terjadi, menciptakan budaya politik yang buruk dan tidak sehat bagi demokrasi.
Praktik ini menggambarkan bagaimana sebagian calon kepala daerah lebih memilih jalan pintas untuk memperoleh dukungan daripada membangun kepercayaan melalui program yang substansial. Tindakan ini bukan hanya menurunkan kualitas demokrasi, tetapi juga merusak moralitas politik dan menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap politik transaksional.
Dari sudut pandang hukum, praktik bagi-bagi sembako dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Berdasarkan peraturan yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, serta berbagai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tindakan ini termasuk dalam politik uang (money politic). Pelanggaran ini berpotensi menyebabkan diskualifikasi bagi calon yang melakukannya, serta sanksi pidana bagi pelaku yang terlibat.
Sayangnya, bagi sebagian calon atau bakal calon kepala daerah tidak memandang larangan money politic ini dari sudut pandang ideal bahwa aturan ini dibuat tentu demi mewujudkan sebuah proses demokrasi yang berkualitas dan bermartabat.
Sehingga sebagian calon atau bakal calon kepala daerah bukannya berupaya membekali diri untuk berkontestasi secara jujur tapi justru mencari celah agar tidak terjerat namun tetap menjalankan cara-cara buruk dalam demokrasi.
Hal ini menunjukkan betapa budaya politik yang buruk telah mengakar, di mana perbuatan tercelah dianggap hal yang wajar atau bahkan menjadi strategi yang diperhitungkan oleh calon atau bakal calon.
Contohnya saja, pembagian sembako sebelum pendaftaran dan penetapan pasangan calon, bagi sebagian timses ini cara untuk menghindari pelanggaran dengan alasan belum ada pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU, maka pembagian sembako (money politic) yang dilakukan timses sebelum adanya pasangan calon dianggap srategi yang normal meski disadari merupakan cara kotor yang merusak moralitas demokrasi.
Praktik bagi-bagi sembako ini tidak hanya menciderai proses demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi calon lain yang bertanding secara jujur dan mengandalkan program yang jelas. Masyarakat pun menjadi korban dari praktik ini, karena hanya diiming-imingi bantuan sesaat tanpa solusi jangka panjang yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan konsisten sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat juga perlu dididik agar lebih kritis dan tidak mudah tergoda oleh iming-iming sembako, melainkan menilai calon kepala daerah berdasarkan visi, misi, dan program yang ditawarkan.
Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika setiap pihak, baik bakal calon atau calon kepala daerah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat, sama-sama menjaga integritas dan menolak segala bentuk politik transaksional. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah benar-benar menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.
(Soppeng 26 Agustus 2024)