Jakarta, Matapublik. Net –Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia yang diwakili Boyamin Saiman dan kawan-kawan, mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait sengkarut masalah pagar laut di perairan Tangerang, Banten.
Selain merasa jengkel lantaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkesan mengulur waktu, lewat praperadilan Boyamin ingin mengejar siapa pihak yang akan menerbitkan sertifikat di kawasan itu. Seperti diketahui, kawasan perairan yang dipagari itu sudah ada sertifikat hak guna bangunan (HGB).
Menurut Boyamin pihak yang terlibat bisa dijerat Pasal 9 Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Alasannya, pejabat yang tahu sesuatu yang benar namun menjadi sesuatu yang tidak benar akan terkena pasal korupsi tanpa kata-kata harus ada kerugian negara.
“Makanya saya ingin dengan praperadilan ini mengejar siapa yang akan menerbitkan sertifikat karena ini nanti bisa kena Pasal 9 UU Pemberantasan Korupsi. Saya ingin mengejar dan melaporkan dengan Pasal 9,” ujarnya, Selasa (21/1/2025)
Sebelumnya Nelayan dan prajurit TNI Angkatan Laut bekerjasama telah merobohkan pagar laut di perairan Tangerang, Desa Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025).
Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) mendaftarkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1), dengan register perkara Nomor 01/Pid.Prap/2025/PN.Jak.Pst.
Menurut Boyamin tindakan KKP tidak segera menetapkan tersangka dinilai sebagai penghentian penyidikan. Mengulur waktu 20 hari berpotensi memberi peluang bagi terduga pelaku melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
“Alasan gugatan karena saya jengkel. Masalah ini sudah berlangsung 6-7 bulan. Suatu yang jelas masa harus menunggu 20 hari pelakunya muncul. Harusnya langsung dicari pelakunya, bukan menunggu,” ucapnya.
Kedua, terkait barang bukti yang disegel. Harusnya pagar itu boleh di bongkar sebagaimana dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan masyarakat, bukannya KKP tidak setuju dengan pembongkaran itu.
“Pagar bambu yang sudah dicabut bisa ditumpuk di kantor KKP. Pencabutannya didokumentasikan melalui video, ada berita acaranya. Seperti itu, kan, bisa juga buat barang bukti. Justru kalau dibiarkan di laut bisa hilang. Pagar laut mustinya disita, bukan disegel,” katanya.
Boyamin melihat kasus pagar laut ini sebagai sesuatu yang menjengkelkan. Sesuatu yang jelas, terang, gamblang dibuat rumit dan berbelit. Yang terakhir, justru muncul sertifikat HGB. “Pinggir sungai saja mau kita tanami tidak boleh, kok, laut malah dibuat sertifikat,” ucapnya.
Sebuah spanduk berisi penolakan terhadap aktivitas pemagaran laut oleh nelayan terbentang di tempat pelelangan ikan Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025)
Kritik terhadap kebijakan KKP soal pagar laut tidak hanya datang dari LP3HI. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi menilai pembongkaran pagar laut dinilai tepat. Pihaknya juga menyesalkan jika ada pihak yang menyayangkan pembongkaran itu dengan alasan menghilangkan barang bukti.
KKP sudah cukup lama menangani ini namun penyelidikan juga tidak kunjung memunculkan hasil. Yang lebih tepat itu kalau KKP bekerja dengan cepat dari awal. Penyelidikan dirampungkan dan diumumkan nama perusahaannya, pelakunya. Kemudian pembongkaran dibebankan kepada pelaku, bukan kepada negara.
Seperti diketahui, KKP sempat meminta TNI AL menghentikan operasi pembongkaran pagar laut sepanjang 30,16 kilometer itu lantaran masih dalam proses investigasi. Menurut Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono saat di Bali, tak seharusnya pagar dicabut karena merupakan barang bukti penyelidikan.
“KKP sudah cukup lama menangani ini namun penyelidikan juga tidak kunjung memunculkan hasil. Yang lebih tepat itu kalau KKP bekerja dengan cepat dari awal. Penyelidikan dirampungkan dan diumumkan nama perusahaannya, pelakunya. Kemudian pembongkaran dibebankan kepada pelaku, bukan kepada negara,” ucap Zenzi.
Pembongkaran pagar laut, menurut Zenzi, sudah semestinya dilakukan segera lantaran ada hak-hak rakyat yang terganggu. Terganggunya aktivitas nelayan menjadi esensi dari kasus pagar yang menarik perhatian publik itu.
(rls)